Westland Wasp : Legenda Heli AKS TNI AL

Westland Wasp TNI AL kini menjadi monumen di Surabaya
Bila merujuk pada kuantitas kapal perang yang dimiliki, boleh disebut TNI AL merupakan angkatan laut terbesar yang ada di kawasan ASEAN. Tapi terbesar belum tentu jadi yang terkuat, perihal yang terkuat masih harus dikalkulasi ulang, terutama bila dilihat dari perspektif jenis dan teknologi alutsista yang dimiliki oleh AL Singapura dan AL Malaysia.
Untuk segmen rudal anti kapal, TNI AL kini memang menjadi ‘raja’ di ASEAN dengan mengadopsi Yakhont sebagai rudal jelajah dengan jangkauan hingga 300Km. Bagaimana dengan segmen yang lain? Di lini kapal selam misalnya, Korps Hiu Kencana TNI AL tak terbantahkan menjadi operator kapal selam pertama di Asia Tenggara, tapi faktanya kini? Dari segi kuantitas dan teknologi, kapal selam TNI AL sudah tertinggal dari milik Singapura dan Malaysia. Semoga saja pesanan kapal selam terbaru untuk TNI AL dari Rusia dan Korea Selatan tidak terkendala lagi kedatangannya.
Lalu dengan merajalelanya kekuatan kapal selam di ASEAN, apakah TNI AL memiliki armada anti kapal selam (AKS)/anti submarine warfare (ASW)? Jawabannya punya, tapi itu duluu.., persisnya pada awal tahun 60-an, Penerbal (Pusat Penerbangan TNI AL) memiliki pesawat pemburu kapal selam. Pesawat yang dimaksud adalah Fairey Gannet. Pesawat ini sangat khas, pertama karena sosoknya yang terlihat tambun dan kedua, Gannet punya dua bilah baling-baling yang sejajar di bagian hidung. Dua bilah baling-baling ini berputar saling berlawanan arah.
Gannet, menjadi legenda pemburu kapal selam Penerbal TNI AL
Masuknya pesawat AKS jenis Gannet ke jajaran TNI-AL diawali dengan kontrak pembelian pesawat Gannet tipe AS-4 dan T-5 oleh KSAL dengan pihak Fairey Aviation Ltd (Inggris) pada tanggal 27 Januari 1959 di Jakarta. Untuk ’mengganyang’ kapal selam musuh, Gannet dibekali kemampuan membawa dua unit torpedo yang ditempatkan dalam bomb bay. Serta tak ketinggalan peluncur roket dibawah kedua sayap. Di periode yang sama, Penerbal juga pernah memiliki heli AKS Mi-4 yang masuk dalam skadron 400. Tapi informasi diatas tentu hanya bicara dalam konteks masa laloe. Nah, bagaimana kondisi saat ini?
Wasp Dalam Kenangan
Sejak NKRI berdiri, TNI AL sejatinya baru mengopersikan 2 tipe heli AKS, yakni Mi-4 dan Westland Wasp HAS MK.1 . Dan Wasp-lah sosok heli ringan yang menjadi kepanjangan mata dan kekutan penghancur kapal selam pada frigat-frigat TNI AL di dasawarsa 80 dan 90-an.
Wasp adalah heli yang dirancang ideal untuk diopersikan dari atas geladak frigat, meski dibuat oleh Westland Helicopter yang merupakan perusahaan Inggris, Wasp yang digunakan oleh TNI AL merupakan bekas pakai dari AL Belanda. Jumlah yang dibeli sebanyak 10 unit, dan sejatinya merupakan paket dalam pembelian frigat kelas Tribal dari Inggris, dan frigat kelas Van Speijk dari Belanda. Karena dibeli second dan masuk dalam sistem paket, Wasp dihargai cukup murah, yakni US$75.000 per heli.
Ruang kokpit Wasp
Ada beberapa hal yang unik dari heli ini, Wasp dibuat dengan empat roda yang bisa bergerak kesegala arah, ini memudahkan dalam pengaturannya di helipad dan hangar pada frigat yang luasnya terbatas. Untuk memudahkan mobilitas, saat akan dimasukkan ke dalam hangar, selain baling-baling yang bisa dilipat, ekor heli pun juga bisa ditekuk, sehingga bisa memaksimalkan ruang yang ada di hangar. Ekor lipat inilah yang menjadi ciri khas sejati untuk kebutuhan AL, tidak seperti heli Bo-105 dan Nbell-412 yang aslinya tak dirancang untuk pengoperasian di frigat.
Tampilan 3 dimensi Westland Wasp
Tak cuma baling-baling, bagian ekor pun bisa dilipat, ciri khas heli untuk AL
Ciri khas Wasp, bagian mesin dibiarkan terbuka
Secara kasat mata, penempatan mesin heli ini pun sangat menarik perhatian, sebab mesin dibiarkan terbuka tanpa penutup. Desain mesin terbuka tentu cukup memudahkan dalam perawatan, tapi jadi elemen yang melemahkan dari sisi perlindungan, semisal bila heli diberondong tembakan, bisa fatal akibatnya. Karena dirancang untuk ‘hidup’ di lautan, heli ini pun dilengkapi pelampung yang dapat mengembang bila terjadi crash, letak pelampung ini terdapat pada besi penyangga, persisi disisi kiri dan kanan mesin.
Menilik dari sejarahnya, prototipe heli ini mulali meluncur dengan kode Saro P.531 pada 20 Juli 1958. Dan mulai terbang perdana pada 1962 untuk mengisi kebutuhan Royal Navy dan Royal Army. Khusus untuk versi Royal Army, disebut sebagai Westland Scout, bedanya terletak dengan tidak digunakannya roda. Meski menyandang tugas sebagai pemburu kapal selam, perangkat avionik heli ini terbilang kuno, dimana belum dibekali radar, dan sonobuoy. Sebagai informasi, sonobuoy merupakan perangkat sonar yang dicelupkan ke dalam air, gunanya untuk mendeteksi letak dan posisi kapal selam musuh.
Pelepasan Sonobuoy dari helikopter
Wasp milik AL Selandia Baru, nampak membawa torpedo MK46
Meski kelengkapannya serba terbatas, di era 60 dan 70-an Wasp cukup diandalkan oleh NATO, lantaran heli ini sanggup menggotong 2 torpedo MK44, atau 1 torpedo MK46, atau 2 bom laut MK44, bahkan secara teori bisa menggendong bom laut dengan hulu ledak nuklir. Untuk misi serangan ke permukaan, Wasp juga bisa dibekali 4 rudal SS1 atau 2 rudal AS12. Untuk kelengkapan pertahanan diri, Wasp juga dapat dipasangi GPMG (general purpose machine gun) 7,6mm, dan flares.
Dalam event Pameran ABRI di tahun 1995, Wasp TNI AL bahkan pernah dipamerkan dengan kelengkapan penuh, selain Torpedo MK46, juga diperlihatkan beberapa perangkat yang bisa dipasang untuk misi SAR di lautan.
Wasp milik AL Afrika Selatan tengah melakukan misi SAR/evakuasi di laut
Untuk menjalankan misinya, Wasp diawaki oleh seorang pilot dan seorang aircrew yang juga berperan sebagai navigator untuk pelepasan senjata. Untuk kapasitas angkutnya, di bagian belakang, heli ini dapat memuat 3-4 orang penumpang. Untuk melayani misi tempur dan patroli, Wasp ditenagai oleh sebuah mesin Rolls-Royce Nimbus 103 turboshaft, mesin ini dapat menghantarkan Wasp hingga kecepatan maksimum 193Km per jam, serta jangkauan terbang sampai 488Km.
Dipakai Juga Oleh Malaysia
Wasp nyatanya cukup laku juga dipasaran, heli ini telah diproksi sebanyak 133 unit, 10 diantaranya dioperasikan TNI AL. Selain Inggris dan Indonesia, negara pengguna Wasp adalah Belanda, Brazil, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan Malaysia. Ya, AL Malaysia (TLDM/Tentara Laut Diraja Malaysia) jadi satu-satunya pengguna Wasp di Asia selain Indonesia. Baik TNI AL dan TLDM, sejak tahun 2000 tidak lagi mengoperasikan Wasp.
Inilah Wasp milik TLDM, kini nasibnya juga menjadi monumen.
Heli Super Lynx milik AL Malaysia, lengkap dengan 4 unit rudal Sea Skua. Heli jenis inilah yang beberapa waktu lalu sempat menyergap kapal patroli Bea Cukai RI di wilayah perbatasan.
Hanya bedanya, TLDM diberkahi jalan keluar dengan membeli Super Lynx MK100, heli yang juga buatan Westland ini terbilang yang paling canggih untuk misi AKS. Malaysia tercatat punya 6 unit Super Lynx yang dibekali rudal anti kapal Sea Skua, bom laut dan torpedo. Tak itu saja, untuk misi pengintaian, TLDM juga mengoperasikan heli AS550 Fennec buatan Eurocopter.
AL Singapura justru lebih sangar lagi, sejak tahun 2005 telah memiliki S70 Sea Hawk (varian SH-60 Sea Hawk). Heli super canggih ini dimiliki sebanyak 6 unit dan siaga tempur on board pada frigat kelas Formidable yang berkemampuan stealth. Belum lagi Negeri Pulau ini punya Fokker-F50, sebagai pesawat intai maritim yang dapat dipersenjatai rudal Harpoon dan torpedo.
Singapura telah melangkah jauh dengan menggunakan varian Sea Hawk, salah satu heli AKS tercanggih di dunia saat ini.
TNI AL Pasca Wasp
Pasca ‘ditinggal’ Wasp, sayangnya TNI AL tidak punya heli pengganti yang berkualifikasi Wasp. Sejak 10 tahun ini sandaran kekuatan Penerbal hanya berkutat pada heli Bo-105, Nbell-412, dan Super Puma. Yang walaupun dipersenjatai pun, bukan untuk misi AKS, biasanya sekedar dipasangi GPMG dan roket untuk misi melawan terorisme di laut.
Dengan wilayah laut yang begitu luas, ironis bagi kekuatan angkatan laut Indonesia yang saat ini tak memiliki satuan pesawat AKS. Walau ada Boeing 737 surveillance TNI AU, N22 Nomad dan CN-235 MPA (maritim patrol aircraft), kedua pesawat tadi hanya sebatas mampu melakukan fungsi pengintaian, tanpa bisa melakukan aksi tindakan bila ada ancaman kapal selam. Maklum Boeing 737, Nomad dan CN-235 MPA tidak dibekali senjata ke permukaan.
Wasp dengan frigat Van Speijk tengah bertarung dengan ganasnya gelombang laut.
Pastinya TNI AL sadar akan perlunya heli AKS, dikutip dari Tribun-news.com (26/2/2012), KSAL Laksamana TNI Soeparno mengatakan, kebutuhan heli dan pesawat Patmar adalah tuntutan, terutama Helikopter yang memiliki kemampuan AKS. Dan sesuai anggaran pengadaan 2010-2014, ditargetkan TNI AL dapat memiliki setidaknya 10 heli berkemampuan AKS. Kandidat heli AKS untuk TNI AL pun sudah banyak diperbincangkan. Westland Super Lynx, sebagai ‘saudara kandung’ Wasp juga santer disebut-sebut, pasanya heli ini pernah melakukan demo terbang di Indonesia. Dari segi kecanggihan tak usah ditanya, tapi sayang harga heli dan biaya operasi yang mahal membuat Super Lynx tergeser dari bursa.
Kandidat masih banyak dipasaran, baik heli AKS dari Eropa dan Rusia, tapi nyatanya pemerintah telah kepincut dengan sosok heli SH2G Seasprite buatan Kaman Helicopters. Heli ini terbilang punya reputasi yang tinggi. Menurut kabar, 6 heli Sea Sprite akan dibekali kemampuan AKS, sedangkan 5 sisanya akan dilengkapi dengan persenjataan anti kapal permukaan.
Seasprite milik AL Australia, tipe inilah yang bakal menjadi armada heli AKS TNI AL.
Selain radar deteksi, pesawat ini juga akan dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan penindakan. “Rencananya pada 2012 pengadaannya,” ujarnya. Sekretaris Komite Kebijakan Industri Pertahanan Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan, pengadaan CN-235 untuk MPA TNI AL masuk dalam prioritas alutsista TNI.
Lepas dari sosok Seasprite, tapi faktanya heli yang akan dibeli TNI AL ini justru sudah tak dipakai lagi oleh AL AS (US Navy) dan AL Australia. Kedua AL tersebut, dan juga AL Singapura kini mempercayakan peran AKS pada heli Sikorsky SH-60 Sea Hawk. Ada informasi yang menyebutkan, Australia tak betah memakai Seasprite lantaran seringnya terjadi kerusakan pada heli ini. Mudah-mudahan bagi TNI AL Seasprite adalah pilihan yang tepat sebagai pengganti Wasp. Selain isu teknis, sudah selayaknya pemerintah Indonesia juga mempertimbangkan trauma saat mengalami embargo dikala terjadinya tekanan politis dari AS. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Spesifikasi Wasp HAS Mk.1
Pabrik : Westland Helicopters, UK.
Kru : 2 orang (pilot dan aircrew)
Kapasitas : 3-4 penumpang
Panjang : 12,30 meter (termasuk rotor)
Diameter rotor : 9,83 meter
Tinggi : 2,72 meter
Berat kosong : 1,569 kg
Berat Max : 2,500 Kg
Mesin : 1 × Rolls-Royce Nimbus 103 turboshaft
Kecepatan maksimum : 193 Km/jam
Kecepatan jelajah : 177 Km/jam
Kecepatan menanjak : 7,3 meter/detik
Jangkauan terbang : 488 Km

Mi-6 : Legenda Heli Raksasa TNI-AU

Foto Mi-6 milik TNI-AU
Foto Mi-6 milik TNI-AU
Banyak hal yang patut kita kagumi dari sosok angkatan perang Indonesia di era 60-an. Seperti kita sudah kenal keberadaan jet tempur Mig-21, rudal SA-2 dan KRI Irian. Tapi masih ada lagi artefak sejarah alat tempur yang rasanya patut kita ”banggakan”, khususnya dari TNI-AU (dulu AURI). Pasalnya skadron helikopter angkut berat TNI-AU di tahun 60-an memiliki jenis helikopter raksasa, Mi-6. Mi-6 adalah helikopter buatan Rusia yang diproduksi oleh biro Mil yang dipimpin oleh Mikhail L. Mil. Keluar pertama kali pada September 1957 dan merupakan helikopter yang terbesar di dunia, dan memecahkan berbagai rekor dunia. Rekor terbesar disandang sampai muncul penggantinya pada awal 1980-an, Mil Mi-26 Halo dengan pengecualian Mil Mi-12 Homer yang dianggap gagal dan tidak diproduksi massal.
Mi-6 di sebuah museum dirgantara Rusia
Mi-6 di sebuah museum dirgantara Rusia
Helikopter Mil Mi-6 adalah helikopter yang dirancang berdasarkan persyaratan teknis bersama antara biro militer dan sipil. Mereka menginginkan heli raksasa yang tidak hanya dapat menciptakan dimensi baru dalam mobilitas perang dengan kemampuan memindahkan kendaraan lapis baja ringan, namun juga dapat digunakan untuk kegiatan eksplorasi di wilayah-wilayah terpencil di Uni Soviet. Syarat lain, helikopter itu harus dapat mengangkut kargo dalam jumlah besar, sanggup dalam berbagai macam kondisi serta memiliki jarak terbang yang jauh.
Warna khas Mi-6 AD Uni Soviet
Warna khas Mi-6 AD Uni Soviet
Setelah dihitung, syarat tersebut dapat dicapai apabila heli tersebut menggunakan mesin turbin bertenaga besar, satu hal yang belum pernah dibuat pada helikopter Soviet sebelumnya. Mesinnya sendiri cukup menakjubkan, sebagai gambaran berat rotor (baling-baling) utama dan gearbox Soloviev R-7 mencapai 3200 kilogram yang berarti lebih berat dari berat kedua mesin turboshaft Soloviev D-25V. Sejak produksi yang ke-30 pada 1960, Mi-6 dipasangi variable-incidence wing. Sayap yang terletak dekat rotor utama itu, selain sebagai stabilisator juga berguna untuk menambah daya angkat pesawat.
Mi-6 benar-benar sosok helikopter yang sangar
Mi-6 benar-benar sosok helikopter yang sangar
Saat terbang kecepatan jelajah, sayap itu menanggung 20 persen beban helikopter. Dengan begitu, Mi-6 dapat melakukan rolling take-off (lepas landas dengan meluncur seperti halnya pesawat biasa) dengan berat yang lebih besar dibandingkan dengan vertical take-off (lepas landas secara vertikal yang dilakukan helikopter pada umumnya). Menurut Chris Chant dalam buku Military Aircraft of the World, merupakan hal yang luar biasa. Helikopter ini terbang pertama pada akhir 1957 dengan pilot R.I Kaprelyan.
Rekor yang dicapai
Berbagai rekor dunia dicapai oleh helikopter ini yakni rekor dunia helikpter untuk kecepatan daya angkat, dengan rekor kecepatan 300 km/jam (180 mph) dipecahkan dan atas prestasi itu, Mi-6 memperoleh penghargaan Igor Sikorsky International Trophy pada tahun 1961. Tiga tahun kemudian, dalam sirkuit tertutup 100 km, Mi-6, kembali memecahkan rekor kecepatan 340 km/jam (211 mph), satu rekor yang bertahan hingga tahun 1989.
Mi-6 tampak menggotong tower Sutet
Mi-6 tampak menggotong tower Sutet
Teknis, daya angkut dan versi yang dibuat
Helikopter ini memiliki daya angkut internal normal 12 ton, atau 9 ton eksternal. Dengan daya angkutnya yang besar sangat disukai oleh pihak militer. Pada Pameran kedirgantaraan Tushino 1961, enam Mi-6 mendarat dalam dua kelompok : satu kelompok membawa sepasang rudal artileri lengkap dengan transporter, sementara kelompok lain membawa personel dan perlengkapan. Seperti seri pendahulunya yakni Mil Mi-4, maka Mil-6 juga memiliki pintu kerang (clamshell door) di belakang kabin guna memudahkan keluar-masuknya kendaraan lapis baja ringan. Untuk versi sipil, Biro Mil mengeluarkan versi Mil Mi-6P. Cirinya ada jendela lebih besar namun tidak memiliki pintu kerang. Versi lainnya adalah versi flying-crane helicopter dan heli pemadam kebakaran.
Heli Chinook juga bisa digotong oleh Mi-6
Heli Chinook juga bisa digotong oleh Mi-6
Helikopter Mi-6 dikembangkan hingga keluar Mil Mi-10 Harke yang lebih besar. Tapi keduanya tidak digunakan secara luas dijajaran angkatan bersenjata Uni Soviet. Tidak seperti versi berikutnya Mil Mi-8 Hip yang memiliki populasi lebih dari 10.000 dan terus diproduksi dan dikembangkan hingga kini yang dilanjutkan dengan Mi-17 yang merupakan pengembangan Mi-8, Mi-6 hanya diproduksi 1000 unit saja hingga pertengahan 1980-an. Produksinya yang rendah, kemungkinan karena helikopter bertubuh besar itu dianggap rentan dalam peperangan. Namun demikian Mil Mi-6 memiliki pengalaman perang, diantaranya pernah mengangkut senjata-senjata berat berat ke sejumlah negara-negara Afrika dukungan Uni Soviet pada 1978.Hingga kini masih banyak Mi-6 yang digunakan Rusia dan negara-negara bekas Uni Soviet lainnya.
Ruang kargo Mi-6 dapat memuat truck sampai tank ringan
Ruang kargo Mi-6 dapat memuat truck sampai tank ringan
Data teknis Mil Mi-6 Hook
- Jenis : Helikopter transpor (angkut) berat
- Dimensi : Diameter rotor utama 35 m; panjang badan 33,18 m; panjang dengan rotor 41,74 m; tinggi 9,86 meter; berat kosong 27.240 kg; kecepatan maks. 300 km/jam; kecepatan jelajah maks. 250 km/jam; tinggi terbang maks. 4.500m; jarak jangkau dengan muatan setengah daya angkut maks. 650 km dan daya angkut maks. 42.500 kg
- Mesin : Dua mesin turboshaft Soloviev D-25V (TB-2BM masing-masing 5.500 hp (daya kuda)
- Awak : 11 orang terdiri atas pilot, dua orang ko-pilot, juru mesin udara (JMU), telegrafis, navigator, loadmaster, pembantu letnan udara dan sisanya adalah pembantu JMU. Dapat mengangkut 61 pasukan bersenjata lengkap.
– Senjata : Umumnya tidak dilengkapi senjata, namun helikopter ini sering dilihat dengan kanon 20 mm di hidung pesawat.
Dengan diameter rotor yang mencapai 35 m dengan berat 650 kg, dapat dinaiki manusia hingga teknisi dapat mengecek dengan berjalan diatas rotor hingga bagian tengahnya. Namun ciri khas pesawat buatan Uni Soviet adalah fungsi dan peralatan lebih diutamakan dibandingkan faktor lain seperti kenyamanan awak pesawat. Diantaranya kesediaan safety-belt (sabuk pengaman) yang hanya satu untuk empat penumpang. Mesin yang cukup besar menghasilkan goyangan dan suara yang cukup bising namun tidak dilengkapi peredam suara sehingga para penumpang dan awak melengkapi dirinya dengan pelindung pendengaran yang dibawanya sendiri, umumnya memakai kapas ditelinga.
Tampilan 3 dimensi Mi-6
Tampilan 3 dimensi Mi-6
Mil Mi-6 yang dioperasikan TNI-AU
Menjelang Operasi Trikora, pada awal 1960-an Indonesia membeli berbagai perlengkapan militer dari Uni Soviet. Namun beberapa diantaranya tiba setelah Trikora selesai. Termasuk diantaranya adalah helikopter Mil Mi-6 Hook pesanan Indonesia yang dibeli sembilan unit yang dioperasikan oleh TNI-AU (dulu AURI, Angkatan Udara Republik Indonesia). Pesawat itu diberi nomor registrasi H 270- H278. Beberapa publikasi asing menyebutnya enam unit helikopter.
Perbandingan besar sebuah sedan dan heli Mi-6
Perbandingan besar sebuah sedan dan heli Mi-6
Helikopter Mi-6 Hook sendiri bukanlah pilihan utama TNI-AU yang sangat menginginkan Sikorsy S-61 Sea King terutama versi S-64 Tarhe yang termasuk flying-crane helicopter. Namun karena alasan ekonomi dan terutama politik, tentu tidak bisa didapatkan sehingga apa yang bisa diambil dari Uni Soviet, itulah yang digunakan.
Sebelum menerbangkan Mi-6, para pilot TNI-AU berlatih dengan helikopter Mi-4 yang sudah dimiliki di Pangkalan Udara (Lanud) Atang Senjaya di Semplak, Bogor. Awal 1965, 22 personel TNI-AU dikirim ke Uni Soviet yang terdiri atas enam pilot, satu navigator dan sisanya teknisi. Disana mereka dilatih di Akademi AU Soviet di Frunze, ibukota Kirghyzstan.
Pendidikan diselesaikan dalam enam bulan dan pada Juni 1964 mereka kembali ke Indonesia, sedangkan helikopternya dikapalkan dari Sevastopol di Laut Hitam dan dibongkar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta pada tahun yang sama. Komponen Helikopter dirakit di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma oleh teknisi-teknisi Uni Soviet. Helikopter pertama Indonesia diterbangkan pada 1 Oktober 1964. Selanjutnya dimasukan ke jajaran Skadron 8 Wing 4 Lanud Atang Senjaya, Bogor.
Tampilan belakang heli Mi-6
Tampilan belakang heli Mi-6
Helikopter itu kemudian dilibatkan dalam operasi-operasi selama periode Konfrontasi dengan Malaysia (Dwikora) dan penumpasan kelompok pemberontakan Paraku di Kalimantan Barat dengan fungsi sebagai transpor dan dukungan logistik. Berbeda dengan perlengkapan militer buatan Uni Soviet yang dioperasikan Indonesia pada masa-masa Trikora dan Dwikora, helikopter ini tidak menimbulkan kekhawatiran di sejumlah negara tetangga. Selain karena helikopter transport, juga sepertnya negara tetangga mengetahui kelemahan helikopter ini.
Menurut kesaksian para pilot yang pernah mengoperasikan helikopter Mil Mi-6 Hook ini, banyak kelemahan teknis yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan Uni Soviet seperti kecepatan jelajah yang hanya menjapai 170-175 km/jam, tidak sampai 200 km/jam. Jarak terbangnya yang pendek karena bahan bakarnya hanya cukup untuk 2 jam terbang sehingga kalau pergi ke suatu tempat harus dapat mendarat karena tidak mungkin kembali. Terbang jelajah yang pernah diperoleh maksimum adalah 2 jam 54 menit yakni dari Lanud Husein Sastranegara, Bandung hingga Tanjung Perak di Surabaya, itupun dengan muatan yang tidak terlalu penuh.
Mi-6 Rusia dalam warna merah putih, seharusnya Mi-6 bisa dijadikan monumen di Tanah Air
Mi-6 Rusia dalam warna merah putih, seharusnya Mi-6 bisa dijadikan monumen di Tanah Air
Kemudian dari daya angkut, ternyata tidak sesuai dengan yang ditawarkan. Dengan berat kosong heli 27,5 ton dan berat maksimum take off 42 ton, selisih diantaranya sebagian dipakai untuk berat awak pesawat dan bahan bakar yang mencapai sepulu ribu liter. Sebagai akibatnya, perbandingan berat operasional dengan berat maksimum untuk lepas landas sangat kecil, daya angkut efektifnya hanya 4,2 hingga 4,5 ton saja.Kelemahan lain adalah bila mendaratnya tidak tepat berakibat bantalan udara (ground cushion) sukar diperoleh, namun jika terlalu tinggi, putaran rotor ekor tidak dapat mengimbangi putaran rotor utama.
Namun demikian helikopter ini memiliki kelebihan yakni bisa digunakan untuk segala medan. Ketika TNI-AU akan menggunakan helikopter mengangkut barang-barang dengan rute Medan-Cot Girek di Aceh, terlebih dahulu diuji dengan menerbangi rute Bandung-Pengalengan dengan mengangkut barang. Ketika cuaca buruk menghadang, helikopter mendarat darurat yang ternyata bukan kebin kentang yang diperkirakan pilot, tetapi di dasar jurang dengan permukaan tidak rata.
Disinilah konstruksi helikopter Mi-6 teruji sekalipun tanah di kaki roda kiri dan kanan tidak rata, karena sistem keseimbangannya bagus sekali. Helikopter tersebut akhirnya berhasil diterbangkan keluar lembah setelah muatannya dikurangi.
Helikopter ini tidak lama berdinas aktif dalam armada AURI (TNI-AU), sekitar 1965-1968. Sebagaimana banyak peralatan militer buatan Uni Soviet yang lain, setelah peristiwa G30S/PKI banyak yang tidak dioperasikan lagi dengan alasan kekurangan suku cadang. Helikopter yang terakhir terbang adalah helikopter berseri H-277.
Lebih disayangkan lagi karena tidak ada satupun helikopter Mi-6 Hook yang dijadikan museum atau monumen. Padahal heli Mi-4 yang lebih kecil dapat dijadikan monumen di museum Satria Mandala. Semua M-6 dibesituakan, padahal menurut pilot yang pernah menerbangkannya, kondisinya sebenarnya masih bagus, diantaranya pada badan utama (body/airframe) pesawat yang logamnya mengandung timah hitam sehingga tahan karat sehingga bila diusahakan, helikopter ini sebenarnya masih dapat dioperasikan. (Dikutip dari Wikipedia dan Angkasa)

NBO-105 : Heli Serang Utama TNI-AD

bo105js3
(foto : M Radzi Desa)
Untuk mendukung tugas pertempuran di darat, TNI-AD punya andalan helikopter serang. Helikopter yang dimaksud adalah NBO-105 CB yang diproduksi oleh IPTN atas lisensi MBB, Jerman. Sebagai helikopter serang, NBO-105 dipersenjatai empat senapan mesin FN Herstal MO.32 kaliber 7,62 mm standard NATO yang ditempatkan dalam dua TMP (Twin Machine Gun Pods) atau dua senapan mesin FN Herstal M.3P kaliber 12,7 mm NATO dalam tiga HMP (Heavy Machine Gun Pods).
Banner BO-105 Penerbad
Banner BO-105 Penerbad
Konfigirasi lain dari persenjatan heli serang ini adalah roket FFAR (Folding Fins Air Rockets) jenis T.905 kaliber 2,75 inc NATO dalam dua MLRS (Multi-Launch Rocket System) masing-masing dengan 13 tabung peluncur. Tiga jenis hulu ledak yang digunakan ialah FZ-21 untuk anti personal, FZ-58 untuk anti tank dan FZ-32 untuk marking jika NBO-105 dioperasikan sebagai FAC (Forward Air Control) untuk memandu pesawat tempur yang sedang memberikan bantuan tembakan udara.
Versi B0-105 milik AD Spanyol yang dibekali Rudal Anti Tank TOW/HOT
Versi B0-105 milik AD Spanyol yang dibekali Rudal Anti Tank TOW/HOT
Heli Bolcow Penerbad TNI-AD ini dioperasikan oleh Skadron 21 yang bermarkas di lapangan terbang Pondok Cabe. Jumlah yang dimiliki adalah 15 unit. Selain mendukung operasi tempur, heli ini juga kerap digunakan untuk evakuasi medis di medan perang. Menurut penuturan pilotnya, dalam operasi serangan darat heli dipasangi plat baja di bagian bawah bodi, gunanya untuk melindungi pilot dari tembakan musuh. Tapi di masa damai plat harus dilepas, sebab lumayan menambah bobot heli.
Bisa dibilang heli ini ujung tombak gunship TNI-AD, meski agak ironis dengan jumlah hanya 15 unit, itupun tanpa bekal kemampuan menggotong rudal. Bandingkan saja dengan heli Mi-35 yang baru datang sebanyak 4 unit. Selain bicara soal kualitas tempur, seyogyanya urusan kuantitas juga diperhatikan mengingat luasnya wilayah teritorial Indonesia. Operasional heli dengan empat bilah baling-baling ini juga sudah terbilang tua. Sejak tahun 70-an BO-105 tak pernah absen dalam operasi penumpasan GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Kiprahnya terakhir terlihat saat menumpas GAM (Gerakan Aceh Merdeka).(Haryo Adjie Nogo Seno)
Spesifikasi NBO-105 CB
* Crew: 1 or 2 pilots
* Capacity: 4
* Length: 11.86 m (38 ft 11 in)
* Rotor diameter: 9.84 m (32 ft 3½ in)
* Height: 3.00 m (9 ft 10 in)
* Disc area: 76.05 m² (818.6 ft²)
* Airfoil: NACA 23012
* Empty weight: 1,276 kg (2,813 lb)
* Max takeoff weight: 2,500 kg (5,511 lb)
* Powerplant: 2× Allison 250-C20B turboshaft engines, 313 kW (420 shp) each
Performance
* Never exceed speed: 270 km/h (145 knots, 167 mph)
* Maximum speed: 242 km/h[9] (131 knots, 150 mph)
* Cruise speed: 204 km/h (110 knots, 127 mph)
* Range: 575 km (310 NM, 357 mi)
* Ferry range: 1,112 km (600 NM, 691 mi)
* Service ceiling: 5,180 m (17,000 ft)
* Rate of climb: 8 m/s (1,575 ft/min)